Wednesday, December 21, 2011

GARDENIA PUTIH


Setiap tahun pada hari ulang tahunku, sejak berusia 12 tahun, setangkai bunga gardenia (kacapiring) putih dikirim kerumahku tanpa nama. Tak pernah ada sepucuk kartu atau catatan, dan upaya menelepon ke toko bunga sia-sia karena pembelian dilakukan secara kontan. Tak lama kemudian, aku pun berhenti mencoba menemukan jati diri si pengirim. Aku nikmati saja keindahan dan wanginya yang semerbak, sekuntum bunga putih sempurna penuh daya pikat dibungkus dalam lipatan selembar kertas tisu merah muda yang lembut.
Namun aku tak pernah berhenti membayangkan siapa gerangan pengirirmnya. Beberapa kenangan paling menyenangkan pun masuk dalam impian, tentang seseorang yang menggairahkan dan menakjubkan, tetapi terlalu malu atau eksentrik untuk memperkenalkan jati dirinya. Di masa remajaku, sungguh mengasyikan membayangkan si pengirim mungkin seorang anak lelaki yang telah ku hancurkan hatinya, atau mungkin juga seseorang yang tidak kukenal yang menaruh perhatian padaku.
Ibuku seringkali menambah-nambahi dugaan-dugaanku. Dia bertanya padaku, kalau-kalau  ada seseorang yang terhadapnya telah kulakukan suatu perbuatan baik, yang mungkin kemudian diam-diam menunjukkan penghargaannya. Dia mengingatkanku pada saat-saat ketika aku sedang mengendarai sepeda dan tetangga kami mengendarai mobilnya penuh dengan barang belanjaan dan anak-anak. Aku selalu membantunya menurunkan barang dari mobil dan menjaga agar anak-anak  tidak berlarian ke jalan. Atau boleh jadi si pengirim misterius itu adalah si orang tua di seberang jalan. Aku selalu membantu mengambilkan suratnya di waktu musim dingin, sehingga ia tidak perlu menuruni tangga rumahnya yang diselimuti es.
Ibuku berusaha keras mengembangkan imajinasiku tentang bunga gardenia. Ia ingin anak-anaknya menjadi kreatif. Ia selalu ingin agar kami merasa dicintai dan dihargai, tak hanya olehnya, tetapi oleh seluruh dunia.
Ketika aku berusia 17 tahun, seorang pria menghancurkan hatiku. Pada malam terakhir kali ia menelepon, aku menangis sampai terlelap tidur. Ketika aku terbangun pagi hari, ada sebuah pesan ditulis dengan lipstick merah di kacaku, “Ketahuilah dengan sungguh-sungguh, bila yang setengah dewa pergi, dewa-dewa pun dating.” Lama aku merenungkan kutipan yang berasal dari Emerson itu, dan aku membiarkan tulisan itu di tempat ibuku menuliskannnya sampai hatiku pulih. Dan ketika aku mencari pembersih kaca, ibuku pun tahu bahwa segalanya telah pulih kembali.
Tetapi  ada sejumlah luka yang tak bisa disembuhkan ibuku. Sebulan sebelum Wisuda SMA, ayahku tiba-tiba meninggal karena serangan jantung. Perasaanku campur-aduk mulai dari sekedar duka sampai ke merasa ditinggalkan, takut, tak percaya serta kemarahan yang meluap-luap karena ayahku telah melewatkan satu peristiwa terpenting dihidupku. Aku pun sama sekali tak bergairah terhadap acara wisuda mendatang, drama kelas senior serta pesta dansa, acara-acara yang telah aku persiapkan dan tunggu-tunggu. Aku bahkan berniat untuk tinggal di rumah dan masuk perguruan tinggi daripada pergi jauh sebagaimana yang telah kurencanakan, karena hal ini terasa lebih aman.
Ibuku, di tengah kedukaannya sendiri, tak menginginkan aku sampai kehilangan hal-hal terpenting seperti itu. Sehari sebelum ayah meninggal, kami berdua pergi membeli pakaian dansa dan kami temukan satu yang mengagumkan terbuat dari bermeter-meter kain Swiss berbintik-bintik merah, putih, dan biru. Mengenakannya membuatku merasa bagaikan Scarlett O’Harra. Tetapi ukurannya tak pas, dan ketika ayahku wafat keesokan harinya, aku melupakan sama sekali soal pakaian itu.
Tetapi ibuku tidak. Sehari sebelum pesta dansa, aku mendapatkan baju itu tengah menungguku dalam ukuran yang pas. Ia terbentang dengan anggunnya di atas sofa ruang tamu, terpampang di hadapanku dengan cantik dan artistic. Barangkali aku tak peduli tentang baju baru itu, tapi ibuku peduli.
Dia memperhatikan bagaimana kami, anak-anak menghargai diri kami sendiri. Ia menanamkan pada kami rasa takjub atas keberadaan kami di dalam dunia, dan dia memberikan kepada kami kemampuan untuk melihat keindahan bahkan di tengah-tengah kesengsaraan.
Sungguh, ibuku ingin agar anak-anaknya melihat diri mereka bagaikan bunga gardenia indah, kuat, sempurna dengan aura menggairahkan dan barangkali sedikit misteri.
Ibu meninggal ketika aku berusia 22, hanya 10 hari setelah aku menikah. Dan sejak tahun itulah bunga-bunga gardenia tak lagi datang.

No comments:

Post a Comment